DeteksiNusantara. id
Sangat disayangkan bilamana sudah sering terjadi di lingkungan para oknum Pejabat Publik tak terima dikritik terkait pembangunan, Bupati Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Samahudin, S.E., pidanakan Muh. Sadli Saleh, seorang wartawan dari liputanpersada.com yang bertugas di Kabupaten Buteng.
Tulisan Sadli yang berjudul "Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat" dianggap oleh Bupati Buteng telah mencemarkan nama baik instansi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buteng.
Dalam tulisannya, Sadli menulis terkait penataan Simpang Lima Labungkari diduga tidak sesuai dengan prosedur. Yang mana dari hasil pekerjaan tersebut saat ini berbentuk Simpang Empat.
Bupati Buteng kemudian memerintahkan Kabag Hukum Setda Buteng, Akhmad Sabir, S.H. alias La Bongkara, dan dua orang lainnya untuk melaporkan pemberitaan tersebut ke pihak kepolisian.
Dalam penanganan kasus ini, pihak penyidik Satuan Reskrim Polres Baubau menetapkan Moh. Sodli Saleh alias M. Sadli Saleh Bin H. Saleh sebagai tersangka. Dan dijerat, pertama, dengan pasal 45 A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 2, kedua, atau pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 3 UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penanganan kasus ini dinilai inprosedural berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers, maupun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-XIII/2015 tahun 2015 tentang Yudisial Review pasal 319.
Dalam MoU Polri dengan Dewan Pers dinyatakan bahwa pengaduan dugaan perselisihan sengketa termasuk surat pembaca atau opini atau kolom, antara wartawan atau media dengan masyarakat akan mengarahkan yang berselisih, bersengketa dan atau mengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke pihak polisi maupun proses perdata.
Kasus yang menimpa Sadli ini tidak melewati tahapan yang dimaksud, dimana penggunaan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke pihak polisi maupun proses perdata, tidak dilakukan oleh pihak pelapor.
Sedangkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-XIII/2015 tahun 2015 tentang Yudisial Review pasal 319, yang intinya bahwa penghinaan terhadap pejabat negara dihapus, maka kedudukan pejabat negara setara dengan masyarakat, dimana pasal tentang penghinaan pejabat negara adalah delik aduan.
Dengan demikian, apabila ada pejabat negara merasa dihina harus melaporkan sendiri secara pribadi atau dikuasakan kepada penasehat hukumnya, tentunya dengan biaya pribadi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Buton, Benny Utama, S.H., kepada awak media ini menyampaikan terkait perkara ini, ia melihat berdasarkan keterangan dari para ahli, yakni ahli ITE, ahli bahasa, Jamaluddin, dan keterangan ahli dari Dewan Pers, atas nama Winarto, yang ada di Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik.
"Saya tidak merujuk pada keputusan MK ini. Karena terus terang belum mengetahui terkait keputusan MK tersebut. Dan berdasarkan keterangan ahli dari Dewan pers pada saat kejadian Sadli tidak terdaftar sebagai wartawan dan medianya pun tidak terdaftar. Sesuai dengan yang ada di BAP," tandasnya kepada awak media, Kamis (06/02), dikantornya usai persidangan.
Sementara itu, Penasehat Hukum Sadli, Hardi, S.H., menilai laporan terhadap Sadli dinilai tidak memenuhi legal standing disebabkan menggunakan kapasitas sebagai pejabat negara.
"Dalam perkara ini, kalau merupakan sengketa pers, seharusnya ada hak jawab. Sedangkan apabila delik aduan, tidak bisa menggunakan jabatannya atau tidak bisa menggunakan fasilitas (uang) negara untuk melaporkan, artinya harus melapor sendiri atau melalui PH, bukan melalui Kabag Hukum," pungkasnya.(red /indra. hsb)
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »