DeteksiNusantara. id /
MEDAN | Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengutuk keras aksi represif aparat keamanan yang dikerahkan oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) dalam mengamankan proses pembabatan tanah adat masyarakat Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Kamis(12/09/19)lalu.
Tanah adat masyarakat yang masih produktif ini rencananya akan dibangun jalan dari Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1.900 Meter dan lebar 18 Meter dengan tujuan sebagai akses jalan wisata dengan meratakan hutan adat menggunakan alat berat berupa Eskavator dan dikawal ratusan personelTNI dan Polri serta dibantu oleh Satpol PP.
Masyarakat Sigapiton melakukan penolakan dengan menghadang prosespembabatan hutan adat, dan diantaranya sekelompok ibu-ibu melakukan aksi protesnya dengan membuka baju atas dan bawah dan nyaris telanjang.
Divisi SDA dan Lingkungan LBH Medan, MHD.Alinafiah Matondang SH,M.HUM Mengatakan “LBH Medan sangat menyanyangkan terjadinya peristiwa itu, Mengingat dengan tidak adanya pengakuan pemerintah atas masyarakat adat dikawasan hutan tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan dari pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak bertindak sewenang-wenang dalam melakukan penggusuran dan merampas tanah adat masyarakat Sigapiton, apalagi masyarakat sudah melakukan swakelola dihutan adat tersebut sudah cukup lama”. Katanya Sabtu Pagi(14/09/19) dikantornya.
Lanjutnya. “Akibatnya masyarakat yang sudah terbiasa bertahan hidup dengan mengandalkan hasil hutan sangat kecewa dan tidak terima adanya pembangunan yang tidak memiliki keadilan kepada masyarakat adat khususnya terhadap masyarakat adat Sigapiton”.
“Maka dari itu LBH Medan menilai dengan dilakukannya tindakan represif aparat keamanan dengan mempertontonkan kekerasan didepan umum secara vulgar tersebut dan tidak segan menggunakan kekerasan dalam menghadang masyarakat merupakan tindakan tidak manusiawi dan harus dihentikan”.
“Pemerintah harus mempunyai pertanggungjawaban moral terhadap masyarakatnya, mengabaikan hak-hak masyarakat adat berupa pengakuan tanah adat sama saja meniadakan eksistensi warganya sebagai manusia itu sama saja melanggar HAM. HAMmemproleh jaminan hukum, sebab HAM hanya dapat efektif bila dilindungi oleh hukum. Melindungi HAM dapat terjamin, apabila HAM itu merupakan bagian dari hukum. Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari HAM, sehingga itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh HAM yang dikandung dan diatur dijamin oleh hukum”.
Tambahnya. “Sedangkan di Indonesia jika mengacu kepada UUD 1945 dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : “Bahwa Indonesia adalah negara hukum” dan Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Artinya, masyarakat Sigapiton baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun makhluk tuhan haruslah dihormati dan tidak dibeda-bedakan sebagai warga negara”.
“Dan negara dalam melakukan pembangunan harus mengedepankan hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang bercermin terhadap HAM. LBH Medan meminta pemerintah dan BPODT harus lebih berhati-hati terhadap situasi seperti ini yang rentan dengan konflik”.
“Pemerintah terlihat lebih mementingkan investasi daripada hak-hak masyarakat adat. Pemerintah dan BODT dalam mendeteksi adanya konflik seharusnya sudah memiliki pola yang yang lebih sopan dan humanis dalam menanggulangi gesekan antara pembangunan danau toba yang super perioritas itu dengan kepentingan masyarakat khususnya masyarakat adat yang bagian dari kesatuan warga Indonesia yang tidak kalah super perioritas”.
“Gubernur Sumut dan Kepala Daerah diminta agar mencarikan solusi yang efektif yang mampu menyerap aspirasi warganya, karena itu adalah tugas negara yang diamanatkan konstitusi. Masyarakat yang dirampas ruang hidupnya nyaris telanjang hanya untuk mempertahankan hak-hak mereka. Martabat dan harga dirinya digadaikan demi hak-haknya yang akan diambil. Perlu diingat, bahwa hari ini Pemerintah dan BPODT telah melanggar ketentuan Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat internasional (UNDRIP) yang diadopsi oleh PBB pada 13 September 2007 dimana secara tegas dituangkan dalam pasal 10 yang berbunyi “ Bahwa masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan dan jika memungkinkan dengan pilihan untuk kembali lagI, “Pungkasnya.(red/ Indra. Hsb)
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »